Sekilas Informasi: MTs AL IQNA CISAGA Menerima Peserta Didik Baru pada Tahun Pelajaran 2012/2013. Dapatkan formulirna dengan mengklik tautan bagian samping di website ini

PENDATAAN ALUMNI

SUMBER KARYA TULIS

Teori Pembangunan Candi Borobudur

Candi Borobudur adalah candi terbesar peninggalan Abad ke 9. Candi ini terlihat begitu impresif dan kokoh sehingga terkenal seantero dunia. Peninggalan sejarah yang bernilai tinggi ini sempat menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Namun tahukah Anda bahwa seperti halnya pada bangunan purbakala yang lain, Candi Borobudur tak luput dari misteri mengenai cara pembuatannya? Misteri ini banyak melahirkan pendapat yang spekulatif hingga kontroversi.
Dengan beberapa catatan dan referensi yang terbatas, saya coba menganalisis dan sedikit menguak tabir misteri pembuatan candi ini yang ternyata tidak perlu di-misteri-kan!
 Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa.
Candi Borobudur didirikan di atas sebuah bukit atau deretan bukit-bukit kecil yang memanjang dengan arah Barat-Barat Daya dan Timur-Tenggara dengan ukuran panjang ± 123 m, lebar ± 123 m dan tinggi ± 34.5 m diukur dari permukaan tanah datar di sekitarnya dengan puncak bukit yang rata.
 Candi Borobudur juga terlihat cukup kompleks dilihat dari bagian-bagian yang dibangun. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel. Terdapat 504 arca yang melengkapi candi.
Material Penyusun Candi
Inti tanah yang berfungsi sebagai tanah dasar atau tanah pondasi Candi Borobudur dibagi menjadi 2, yaitu tanah urug dan tanah asli pembentuk bukit. Tanah urug adalah tanah yang sengaja dibuat untuk tujuan pembangunan Candi Borobudur, disesuaikan dengan bentuk bangunan candi.
Menurut Sampurno Tanah ini ditambahkan di atas tanah asli sebagai pengisi dan pembentuk morfologi bangunan candi. Tanah urug ini sudah dibuat oleh pendiri Candi Borobudur, bukan merupakan hasil pekerjaan restorasi. Ketebalan tanah urug ini tidak seragam walaupun terletak pada lantai yang sama, yaitu antara 0,5-8,5 m.
Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan porositas yang tinggi, kadar porinya sekitar 32%-46%, dan antara lubang pori satu dengan yang lain tidak berhubungan.
Kuat tekannya tergolong rendah jika dibandingkan dengan kuat tekan batuan sejenis. Dari hasil penelitian Sampurno (1969), diperoleh kuat tekan minimum sebesar 111 kg/cm2 dan kuat tekan maksimum sebesar 281 kg/cm2. Berat volume batuan antara 1,6-2 t/m3.
Misteri Cara Membangun Candi
Data mengenai candi ini baik dari sisi design, sejarah, dan falsafah bangunan begitu banyak tersedia. Banyak ahli sejarah dan bangunan purbakala menulis mengenai keistimewaan candi ini.
Hasil penelusuran data baik di buku maupun internet, tidak ada satupun yang sedikit mengungkapkan mengenai misteri cara pembangunan candi. Satu-satunya informasi adalah tulisan mengenai sosok Edward Leedskalnin yang aneh dan misterius.
Dia mengatakan “Saya telah menemukan rahasia-rahasia piramida dan bagaimana cara orang Mesir purba, Peru, Yucatan dan Asia (Candi Borobudur) mengangkat batu yang beratnya berton-ton hanya dengan peralatan yang primitif.”
Edward adalah orang yang membangun Coral Castle yang terkenal. Beberapa orang lalu memperkirakan bagaimana cara kerja dia untuk mengungkap misteri tentang pengetahuan dia bagaimana bangunan purba dibangun.
Akhirnya didapat foto yang berhasil diambil pada waktu Edward mengerjakan Coral Castle menunjukkan bahwa ia menggunakan cara yang sama yang digunakan oleh para pekerja modern, yaitu menggunakan prinsip yang disebut block and tackle.
Beda Coral Castle beda pula Candi Borobudur. Coral Castle masih menungkinkan menggunakan Block dan Tackle. Untuk Candi Borobudur rasanya block dan tackle pun masih belum ada. Lalu bagaimana sebenarnya cara membuat Candi ini?.

Candi ini lebih bernilai dan terkenal bukan pada misteri-misteri yang berserakan, tapi candi ini memiliki nilai design aristektur dan teknik sipil serta kemampuan manajemen proyek yang tinggi yang menunjukkan kemajuan pemikiran para pendahulu bangsa kita. Kita patut bangga!!!

Misteri yang belum terungkap berdasarkan informasi di atas. Saya coba mulai berfikir ulang terlepas dari misteri dengan mencoba menganalisis data-data yang ada
sumber : http://palingseru.com/1493/misteri-dibalik-pembangunan-candi-borobudur

MUSIUM DIRGATARA MANDALA

MENGENAL MUSEUM PUSAT TNI AU DIRGANTARA MANDALA SERTA MANFAATNYA BAGI PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SEKITAR

A. Sejarah Singkat Museum Pusat TNI – AU


Museum Dirgantara Mandala sejarahnya berasal dari penggabungan dua museum yakni Museum Pusat AURI yang didirikan 1967 di Jakarta dan Museum Pendidikan atau Taruna yang sudah ada di komplek pendidikan AKABRI Bagian Udara Jogja. Pada 1977 keduanya kemudian digabungkan.
Museum dirgantara terlengkap satu-satunya di Indonesia ini menempati Area lima hektar dengan luas bangunan 7.600 m2. Gedungnya dibagi menjadi enam ruang. Yakni, RuangUtama, Ruang Kronologi I dan II, Ruang Alutsista, Ruang Paskhas, Ruang Diorama, dan Ruang Minat Dirgantara.
Berdasarkan berbagai pertimbangan bahwa kota Yogyakarta pada periode 1945-1949 mempunyai peranan penting dalam sejarah, yaitu tempat lahirnya TNI AU dan pusat kegiatan TNI AU, serta merupakan kawah Candradimuka bagi Kadet Penerbang/ Taruna Akademi Angkatan Udara. Berdasarkan Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Kep/11/IV/1978, museum yang semula berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Skep/04/IV/1978 tanggal 17 April 1978, museum yang berlokasi di Kampus Akabri Bagian Udara itu ditetapkan oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, pada tanggal 29 Juli 1978 yang bertepatan dengan peringatan Hari Bhakti TNI AU. Perkembangan selanjutnya, museum itu tidak dapat menampung lagi koleksi alutsista yang ada karena lokasinya yang sukar dijangkau oleh umum dan kendaraan. Oleh karena itu, Pimpinan TNI AU memutuskan untuk memindahkannya ke gedung bekas pabrik gula di Wonocatur Lanud Adisucipto. Sebelum pemindahan dilakukan gedung itu direhabilitasi untuk dijadikan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Pada tanggal 17 Desember 1982, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menandatangani prasasti sebagai bukti dimulainya rehabilitasi gedung itu.

Penggunaan dan pembangunan kembali gedung bekas pabrik gula itu diperkuat dengan Surat Perintah Kepala Staf TNI AU Nomor Sprin/05/IV/1984, tanggal 11 April 1984. Dalam rangka memperingati Hari Bhakti TNI AU, tanggal 29 Juli 1984, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Sukardi meresmikan gedung yang sudah direhabilitasi itu sebagai gedung Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Lokasi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala itu berada di Pangkalan Udara Adisucipto, di bawah Sub Dinas Sejarah, Dinas Perawatan Personel TNI AU, Jakarta.

Bangunan, Gedung Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala yang ditempati sekarang adalah bekas pabrik gula Wonocatur pada zaman Belanda, sedangkan pada zaman Jepang digunakan untuk gudang senjata dan hanggar pesawat terbang

B. Denah Museum Dirgantara Mandala

C. Tata Ruang
a. Ruang Utama
1. Beberapa foto Mantan Pimpinan TNI – AU
a. Laksamana Udara suryadi Pimpinan TNI – AU (Kepala stafmTRI AU tahun1946 – 1962)
b. Laksamana Udara Omar Dani (Mentri Panglima Angkatan Udarta tahun 1962 – 1965)
c. Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang (Menteri Panglima Angkatan Udara 1965 – 1966)
d. Laksamana Muda Udara Roesmin Nurjadin ( Menteri Panglima angkatan udara tahun 1966 – 1969
e. Marsekal TNI Suwoto Sukendar (Kepala Staf TNI Angkatan Udara tahun 1969 – 1973
f. Marsekal TNI Saleh Baasarah (Kepala Staf TNI Angkatan Udara Tahun 1973 – 1976)
2. Lambang – Lambang
a. Swa Bhuwana adalah lambing TNI angkatan Udara, yang artinya sayap Tanah Air
b. Panji – Panji TNI AU diresmikan oleh presiden angkatan perang pada tanggal 5 Oktober tahun 1952 bersama dengan panji – panji angkatan Darat dan Panji – panji angkatan Laut
c. Pataka Komando Opearesi TNI AU (Koopsau)
Motto : Abhibuti Antarikhse
Artinya : keunggulan di udara adalah tujuan utama
d. Pataka Komando Panduan tempur Udara (Kopatdara)
Motto : Nitya Smakta Maarwati Sarwabaya
Artinya : senantias siga bertindak terhadap segala ancaman bahaya
e. Pataka komando pertahanan Udara (Kohadud)
Motto : Surakhsita Nabhastata
Artinya : Udara yang di pertahankan dengan baik

b. Ruang Kronologi I
Pada tanggal 23 Agustus 1945 di umumkan berdirinya Badan Keamanan rakyat (BKR). Tugas utama BKR udara adalah rakyat merebut dan menguasai pangkalan Udara setempat, beserta pesawat terbang dan fasilitas lainya dari tang jepang, sesuai dengan adanya maklumat pemerintah 5 Oktober 1945. BKR di tingkatkan menjadi TKR (tentara Keamanan Rakyat)
Kegiatan yang berhasil dan menunjukan eksistensi TKR Jawatan Penerbangan antara lain:
a. Pada bulan oktober 1945 Penerbangan pertama di am Indonesia merdeka, pesawat dan fasilitas lainya di rebut dan dikuasi oleh BKR Yogyakarta dari tangan jepang
b. Sekolah penerbangan pertama di Maguwo. Sekolah penerbangan pertama yaitu pada tanggal 15 November di resmikan dan diperingati sebagai hari jadi komando pendidikan TNI AU atau Kodikau
c. Latihan terjun payug. Penerbangan yang membawanya waktu Bapak Agustinus, Adisucipto, Iswahyudi dan makmur Suhodo

c. Ruang Kronologi II
Pendidikan kadet – kadet AURI di dalam dan luar negeri:
a. Sekolah Penerbangan lanjut di Andir dan Kalijati
Angkatan ke I SPI Primary Training dengan pesawat T-^ / AT-16 A
Angkatan ke III SPI adalah kelas terakhir yang di selenggarakan di Andir (Husen Sastranegara) karena tahun 1953 SPI di pindahkan ke pangkalan udara Kalijati yang menghasilkan empat (4) angkatan atas pertimbangan Historis SPI di pindahkan ke Lanud Adi Sutjipto tahun 1959
b. Pengiriman Kadet – kadet ke luar negeri
Selain pendidikan SPI di dalam negeri, maka pada tahun 1950 dikirim pula 60 Kadet untukl mengiokuti Pendidikan penerbangan pada Taiola Akademi Of Aeronautis di Oakland California dan menjelang akhir tahun 1951 pendidikan telah selesai dan para Kadet kembali ke Indonesia

d. Ruang Alutsista
1. Mitsubishi A6 MS Zero Sen
Negara asal ; Jepang
Jenis : Pemburu Taktis
Buatan tahun : 1983
Panjang Sayap : 11 M
Panjang badan : 9,06 m
Berat Maksimum : 2,744 Kg
Kecepatan Maksimum : 570 Km/jam
Akomodaasi : 1 awak Pesawat
Sejarah :
1941 : Pertama kali digunakan jepang dalam perang melawan amerika di cina
1942 – 1945 : Dalam perang pasifik melawan sekutu zero berpangkalan di daerah irian barat
1984 : Diabadikan di museum pusat TNI AU Dirgantara Mandala
2. P – 51 Mustang
Negara asal ; Amerika Selatan
Jenis : Pemburu Taktis
Panjang Sayap : 11,28 m
Panjang badan : 9,81 m
Berat Maksimum : 7000 Kg
Kecepatan Maksimum : 735 Km/jam
Akomodaasi : 1 awak Pesawat
Persenjataan : 6 buah browing kaliber 12,7 = 8 Buah roket Laucher, 2 buah bom
Sejarah :
1950 – 1965 : Operasai penumpasan DI TII Jawa Barat,Aceh, Sulawesi Selatanm
1958 : Operasi PRRI
1962 - 1963 : Operasi Trikora
1964 : Operasi Dwikora
1965 : Opersi G30S/PKI
1967 – 1969 : Oprasi Trisula
1978 : Diabadikan di museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala

e. Ruang Paskhas
1. Sisa – sisa Operasi Trikora
a. Oleh : Penduduk setempat
b. Tanggal : 27 mei 1992
c. Tempat : Gunung Madogma Kecamatan pasir, kabupaten Fak – fak Irian Barat
2. Uniform Pasukan TNI – AU
3. Meriam PSU (Cannon)
Negara asal : Swedia
Merk Pabrik : Bafors
Kaliber . type : 40 m/1 60
Tahun pembuiatan : 1962
Berat : 1.586 Kg
Panjang laras : 2,5 m
Kecepatan tembak : 2,742 m
Kecepatan awak : 873 m / detik

f. Ruang Diorama
1. Serangan udara pertama dan penembakan VT – CIA
2. Peristiwa 19 Desember 1948
Pada tanggal 19 Desember 1984 terjadi pertempuran yang heroik di pangkalan udara Maguwo Angkatan Belanda Udara Mengarahkan:
- 9 buah pesawat tempur P – 40 Kitty Hawk
- 5 Buah Pesawat tempur P – 15 Mustang
- 17 Buah pesawat Ngkut C – 47 Dakota
3. Sekolah penerbanagan AURI Angkatan I 15 November 1945, 21 Juli 1947 peristiwa bersejarah di mulainya pendidikan penerbangan yang pertama kalinya sejak Indonesia merdeka di resmikan sebagai hari jadi komando pendidikan TNI AU (Kodkau) sehingga tanggal 15 November di peringati dan dirayakan setiap tahunya
sumber: dari berbagai sumber

TAMAN PINTAR

Sejak terjadinya ledakan perkembangan sains sekitar tahun 90-an, terutama Teknologi Informasi, pada gilirannya telah menghantarkan peradaban manusia menuju era tanpa batas. Perkembangan sains ini adalah sesuatu yang patut disyukuri dan tentunya menjanjikan kemudahan-kemudahan bagi perbaikan kualitas hidup manusia.

Menghadapi realitas perkembangan dunia semacam itu, dan wujud kepedulian terhadap pendidikan, maka Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas sebuah ide untuk Pembangunan "Taman Pintar".
Disebut "Taman Pintar", karena di kawasan ini nantinya para siswa, mulai pra sekolah sampai sekolah menengah bisa dengan leluasa memperdalam pemahaman soal materi-materi pelajaran yang telah diterima di sekolah dan sekaligus berekreasi.
Dengan Target Pembangunan Taman Pintar adalah memperkenalkan science kepada siswa mulai dari dini, harapan lebih luas kreatifitas anak didik terus diasah, sehingga bangsa Indonesia tidak hanya menjadi sasaran eksploitasi pasar teknologi belaka, tetapi juga berusaha untuk dapat menciptakan teknologi sendiri.

Bangunan Taman Pintar ini dibangun di eks kawasan Shopping Center, dengan pertimbangan tetap adanya keterkaitan yang erat antara Taman Pintar dengan fungsi dan kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Taman Budaya, Benteng Vredeburg, Societiet Militer dan Gedung Agung.
Relokasi area mulai dilakukan pada tahun 2004, dilanjutkan dengan tahapan pembangunan Tahap I adalah Playground dan Gedung PAUD Barat serta PAUD Timur, yang diresmikan dalam  Soft Opening I tanggal 20 Mei 2006 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo.
Pembangunan Tahap II adalah Gedung Oval lantai I dan II serta Gedung Kotak lantai I, yang diresmikan dalam Soft Opening II tanggal 9 Juni 2007 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo dan Menristek, Kusmayanto Kadiman, serta dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pembangunan Tahap III adalah Gedung Kotak lantai II dan III, Tapak Presiden dan Gedung Memorabilia.
Dengan selesainya tahapan pembangunan, Grand Opening Taman Pintar dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2008 yang diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
sumber: www.tamanpintar.com
MALIOBORO
Belum disebut pergi ke Jogja kalo belum mampir ke Malioboro. Entah apa alasannya, tapi yang pasti nama jalan ini sudah hampir sama dengan kota Jogja itu sendiri. Konon, ada yang bilang Jalan Malioboro yang terletak 800 meter di utara Kraton Yogyakarta ini, dulunya dipenuhi karangan bunga setiap kali kraton melaksanakan perayaan. Lantas jalan ini pun kini dinamakan malioboro yang dalam bahasa sansekerta berarti “karangan bunga”. Jalan ini juga seolah merupakan “garis imaginer” yang menghubungkan Kraton, Tugu, dan Gunung Merapi di sebelah utara. Kawasan malioboro merupakan pertokoan modern bentukan pemerintah penjajah kolonial Belanda.
malioboro yogyakartaKawasan Malioboro Yogyakarta dibangun oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan. Bahkan sampai sekarang kawasan ini masih mnjadi pusat perekonomian dan pemerintahan  kota. Di sebelah timur jalan berderet gedung-gedung pemerintah seperti kantor Gubernur, kantor DPRD dan komplek perkantoran pemerintah provinsi Yogyakarta, selain itu kantor Tourist Information Center dan Malioboro Mal juga ada di deretan ini. Sedangkan di sebelah barat jalan lebih didominasi oleh deretan  toko-toko dan kaki lima penjaja cideramata yang tertata dengan rapi.

Menelusuri Kawasan Malioboro Yogyakarta

Menelusuri Malioboro menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Kamu bisa cari penginapan / hotel di malioboro mulai dari kelas melati hingga berbintang lima cukup dengan berjalan kaki atau naik becak atau andong. Ruas timur jalan memang jadi pusat pertokoan, juga mall. Sementara di ruas barat sebagai surganya cinderamata. Banyakl oleh-oleh dapat ditemukan disini, seperti kerajinan batik, kulit, perak, kaos dengan tulisan-tulisan lucu serta berbagai kerajinan lainnya. Tentu saja harga yang ditawarkan disini pun dapat ditawar, dan anda jago dalam tawar-menawar andapun bisa belanja dengan harga yang murah. Cuma, kunci sukses kamu berburu barang adalah kemampuanmu menawar. Akan menjadi sangat membantu kalo kamu bisa ngomong  bahasa Jawa
Di malam hari, kamu bisa menikmati makan lesehan di sepanjang jalan ini, dengan menu burung dara goreng, pecel lele hingga nasi gudeg. Ditambah lagi ada serombongan musisi jalanan dengan tembang-tembang lawas yang siap menemani waktu bersantap kamu jadi makin spesial. Hem… makin malam Malioboro makin menghanyutkan!

Lokasi: Jl. Malioboro, selatan Stasiun Tugu Jogja
Kebersihan dan kenyamanan
Parkir: motor Rp 1.000,-
Fasilitas: tempat parkir Abu Bakar Ali, gerai souvenir, angkutan becak dan andong.
TUGU SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
  1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
  2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
  3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
  4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
  5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
  • Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
  • Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
  1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
  2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
  3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber: www.id.wikipedia.org

LATIHAN SOAL ONLINE TIK

MASUKAN KOMENTAR ANDA VIA FACEBOOK DIBAWAH INI!

-stream>
BERITA BULAN INI: MTs AL IQNA CISAGA menjadi Juara 2 Invitasi Bola Volly Guru dan Karyawan di Kementerian Agama Kantor Kecamatan Cisaga Tahun 2011.

ARSIP POSTING DATA